Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafizh Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh. Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.
Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.
Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.
Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.
Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing.
Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.
Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.
Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional.
Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru. Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar.
Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka. Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.
Dalam usia yang baru mendekati 49 tahun, Habib Umar Bin Hafidz telah muncul menjadi sosok ulama muda yang produktif menulis.
Kiprah dakwah lisan Ad-Da’i ilallah Al-Musnid Al-Muhaddits Al-Hafizh Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz B.S.A, atau yang akrab dengan panggilan “Habib Umar Bin Hafidz”, telah merambah ke berbagai penjuru dunia. Tidak saja di Yaman, tanah kelahirannya, ia pun turut terlibat dalam berbagai forum dakwah dan forum ilmiyah yang digagas berbagai organisasi keagamaan maupun non-keagamaan di Mesir, Kenya, Sri Lanka, India, Amerika, Italia, Oman, Inggris, Prancis, UEA, Syiria, Australia, Pakistan, Swiss, Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, Libiya, Spanyol, dan hampir semua negara di belahan Timur dan Barat.
Ia, sebagaimana generasi salaf, arif, tawassuth (moderat), bertabur ilmu dan dakwah. Retorikanya padat makna. Habib Umar juga pandai memilih kata sesuai kelompok masyarakat yang dihadapinya. Ia akan berbicara dengan nash-nash yang shahih di hadapan para ulama, dan dengan kisah bertabur hikmah di depan kalangan awam. Ia akan bicara dengan bahasa keislaman tatkala bertatap muka dengan kelompok muslimin, dan dengan bahasa logika dan falsafah di depan non-muslim. Tak ada satu pihak yang sakit hati tatkala mendengar tutur katanya. Bilamana ia berbicara, seluruh pandangan mata tertuju pada ucapannya. Bahkan tak sedikit yang mencucurkan air mata.
Sebahagian besar orasi yang meluncur dari lisannya direkam dan disalin. Maka, terlahirlah sekian bahan pustaka tulis serta elektronik, yang menjadi khazanah pustaka di rumah-rumah kaum muslimin, khususnya pecintanya. Selain itu, ia pun menggagas dakwah bil qalam (dengan pena), lewat berbagai karya, yang sebahagian besar hadir dari sebuah mujahadah di jalan dakwah.
Cahaya Ilmu dalam Keluarga
Habib Umar lahir di Tarim, sebelum fajar hari Senin, 4 Muharram 1383 H/27 Mei 1963 M. Ia tumbuh di tengah keluarga yang shalih dan penuh cahaya ilmu. Ayahnya, Habib Muhammad bin Salim, adalah seorang ulama terpandang yang mencapai tingkat mufti dalam Madzhab Syafi’i. Kakeknya, Habib Salim bin Hafidz, seorang ulama yang produktif menulis. Sedangkan kakaknya, Habib Ali Masyhur, adalah seorang ulama faqih yang sampai saat ini menjadi mufti kota Tarim.
Cinta terhadap ilmu dan orang-orang shalih telah tertanam dalam jiwa Habib Umar sejak ia masih berusia dini. Sejak kecil ia sudah menghafal Al-Quran dan mempelajari ilmu-ilmu dasar agama.
Saat ia menginjak usia sembilan tahun, ayahnya, karena ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran, diculik oleh kelompok komunis yang saat itu berkuasa di kawasan Yaman Selatan. Hingga kini tak diketahui keadaan ayahnya, namun sikap heroisme sang ayah menjadi api perjuangan yang tertanam dalam jiwa Habib Umar untuk menjalani dakwah ke seluruh dunia.
Dalam suasana yang penuh kegentingan dan intimidasi, Habib Umar muda tetap menuruti keinginan kuat di hatinya untuk menuntut ilmu kepada para ulama. Selain belajar kepada ayahnya dan kakaknya, ia juga belajar kepada Habib Muhammad bin Alwi Bin Shahab, Al-Munshib Habib Ahmad bin Ali Bin Syekh Abubakar, Habib Abdullah bin Syaikh Alaydrus, Habib Abdullah bin Hasan Bilfagih, Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, Sulthan Al-‘Ilm Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri (Rubat Tarim), Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan Syaikh Taufiq Aman.
Berkat wasilah mereka, Habib Umar memperoleh berbagai pengetahuan dan disiplin ilmu, seperti ilmu fiqih, theologi, ushul fiqh, sejarah, tata bahasa, dan tasawuf. Sejak usia 15 tahun, ia terbiasa untuk menyampaikan ilmu dari guru-gurunya dalam rangka dakwah.
Hijrah dan Dakwah
Situasi politik di Yaman Selatan, yang dikuasai komunis, membuat Habib Umar berhijrah ke Yaman Utara. Ia berhijrah dari Tarim pada bulan Shafar 1402 H/Desember 1981 M ke kota Baidha. Di kota ini, ia memilih untuk melanjutkan studinya ke Rubath Al-Haddar, yang didirikan Al-‘Arif billah Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar. Di sini, selain belajar kepada Habib Muhammad, ia juga belajar kepada ‘Allamah Habib Zain bin Ibrahim Bin Sumaith. Di samping itu, ia juga belajar ke Hudaidah dan Taiz. Ia belajar kepada mufti kota Taiz, ‘Allamah Al-Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil Bin Yahya.
Ia menjadi pemuda yang dikenal kealimannya, lurus, shalih, gemar berdakwah, dan berakhlaq mulia. Gurunya, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar, pengasuh Rubath Al-Haddar, menjadikannya sebagai menantu, menikahkannya dengan salah seorang putrinya.
Kehausan Habib Umar akan ilmu, dan kecintaannya kepada orang-orang alim nan shalih, semakin menjadi-jadi. Pada Rajab 1402 H/April 1982 M, ia sering bolak-balik antara Arab Saudi dan Yaman. Di kedua negara itu ia belajar kepada Al-‘Arif billah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, Habib Abubakar Aththas bin Abdullah Al-Habsyi, dan mengambil ijazah sanad kepada Musnid Ad-Dunya (Pemilik Banyak Sanad di Seluruh Dunia) Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani Al-Indunisi dan ‘Allamah As-Sayyid Prof. Dr. Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani.
Dakwah Habib Umar lalu merambah Oman, tatkala ia menetap dan mengajar di kota Shalalah selama kurang lebih dua tahun atas permintaan sejumlah tokoh masyarakat di Kesultanan Oman.
Pada tahun 1992 M, Habib Umar pindah ke kota Syihr, Hadhramaut. Di kota ini, ia menghidupkan kembali Rubath Al-Musthafa, yang didirikan Al-Habib Abdurrahman Bin Syekh Abubakar bin Salim. Rubath ini sebelumnya ditutup oleh pemerintah komunis.
Dengan dihidupkannya kembali Rubath ini, kiprah Habib Umar semakin kentara. Para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai negeri, termasuk dari Indonesia.
Setelah sekian lama merantau ke berbagai negeri untuk belajar, mengajar, dan berdakwah, Habib Umar kembali ke kampung halamannya, Tarim. Di tanah kelahirannya, pada tahun 1414 H/1994 M, Habib Umar membangun perguruan yang dinamakan “Darul Mushthafa li Ad-Dirasah Al-Islamiyyah”.
Lembaga perguruan ini secara resmi baru digunakan pada hari Selasa, 29 Dzulhijjah 1417 H/6 Mei 1997 M. Dengan resmi berdirinya perguruan Islam ini, Tarim dan Darul Mushthafa menjadi magnet bagi ribuan pelajar muslim di seluruh dunia.
Ada tiga target utama yang menjadi tujuan didirikannya lembaga pendidikan ini. Pertama, mendapatkan ilmu pengetahuan dari para ahlinya dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Kedua, pembersihan jiwa dan menata akhlaq. Ketiga, menyebarkan ilmu yang diperoleh serta menyeru umat manusia ke jalan Allah.
Sekalipun konsep perguruan ini menggunakan metode salaf, nuansa modernitas juga mulai tampak, terutama dalam menggunakan perangkat-perangkat infrastruktur yang canggih.
Aktivitas pendidikan tak menyurutkan semangat Habib Umar untuk melakukan rihlah dakwah ke berbagai penjuru dunia.
Salaf di Era Khalaf
Di tengah kesibukan mendidik dan berdakwah, Habib Umar menyempatkan dirinya untuk menulis beberapa kitab, di antaranya Is’af Thalib Ridha al-Khallaq bi Makarim al-Akhlaq, Tawjihah ath-Thullab, Al-Khithab al-Islamiyy fi al-Mu-assasat ad-Diniyyah, Syarh Manzhumah as-Sanad al-‘Alawiyy, Khuluquna, Adz-Dzakhirah al-Musyarrafah, Khulashah Madad an-Nabawi, Risalah Maulid Adh-Dhiya al-Lami’, Syarab ath-Thahur fi Dzikr Sirah Badr al-Budur, Faydh al-Imdad fi Khuthab al-Jum’ah wa al-Kusufayn wa al-Istisqa wa al-A’yad, Al-Mukhtar min Syifa` as-Saqim, Tawjihat Nabawiyyah, Nur al-Iman min Kalam Habib ar-Rahman, Al-Wasathiyyah fi al-Islam, Mamlakatul Qalbi wa al-A’dha`, Tawjih an-Nabiyy, Qabasat an-Nur al-Mubin min Ihya Ulum ad- Din, Tsaqafah al-Khathib, Silsilah Ma’alim ad-Du’at fi Thariq Habibillah, serta diwan (kumpulan prosa) yang teruntai dari lisan perenungannya yang berjudul Fa-idhat al-Mann min Rahamat Wahhab al-Mannan.
Salah satu karyanya, Al-Wasathiyah fi al-Islam, memuat akar-akar dan landasan dasar dari semua pemikiran Habib Umar yang tertuang dari puluhan karyanya. Ia sangat pandai membangun paradigma berpikir dengan mengambil khulashah (intisari) dari nash-nash agama yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh ulama lain. Ia juga melakukan analisis yang tajam dalam mencermati kisah-kisah sejarah. Ia mengail hikmah yang sangat dalam dan logis dari cerita-cerita, bahkan mampu menjadikannya sebagai landasan bagi masalah yang diajukan oleh akal sehat.
Sejarah menjadi salah satu sumber inspirasi bagi Habib Umar untuk menulis. Sisi inilah yang membuat gaya berpikir Habib Umar memiliki ciri khas, yang dilontarkan oleh para ulama dalam beberapa dekade belakangan ini.
Karya lainnya seperti Tsaqafatul Khathib, Al-Khithab al-Islamiy, dan Faydh al-Imdad, sebagaimana tampak dari judulnya, merupakan karya di bidang ilmu dakwah. Karya-karya ini berdasarkan pengalamannya sebagai dai yang telah lama dijalaninya sejak masa remaja.
Selebihnya merupakan karya-karya yang lazim ditulis ulama-ulama Hadhrami, seperti karya-karya Al-Imam Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, yang berkenaan dengan adab, suluk, dan jalan kesufian.
Adapun risalah Maulid Adh-Dhiya‘ al-Lami’ menunjukkan ketinggian nilai sastra Habib Umar. Melantunkan bacaan karya Maulid-nya ini termasuk mudah, sehingga banyak disukai anak-anak remaja. Karya Maulid ini juga menjadi familiar, berkat jaringan murid-murid Habib Umar di berbagai penjuru dunia yang mempopulerkannya.
Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru. Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar.
Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka. Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.
Dalam usia yang baru mendekati 49 tahun, Habib Umar Bin Hafidz telah muncul menjadi sosok ulama muda yang produktif menulis.
Kiprah dakwah lisan Ad-Da’i ilallah Al-Musnid Al-Muhaddits Al-Hafizh Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz B.S.A, atau yang akrab dengan panggilan “Habib Umar Bin Hafidz”, telah merambah ke berbagai penjuru dunia. Tidak saja di Yaman, tanah kelahirannya, ia pun turut terlibat dalam berbagai forum dakwah dan forum ilmiyah yang digagas berbagai organisasi keagamaan maupun non-keagamaan di Mesir, Kenya, Sri Lanka, India, Amerika, Italia, Oman, Inggris, Prancis, UEA, Syiria, Australia, Pakistan, Swiss, Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, Libiya, Spanyol, dan hampir semua negara di belahan Timur dan Barat.
Ia, sebagaimana generasi salaf, arif, tawassuth (moderat), bertabur ilmu dan dakwah. Retorikanya padat makna. Habib Umar juga pandai memilih kata sesuai kelompok masyarakat yang dihadapinya. Ia akan berbicara dengan nash-nash yang shahih di hadapan para ulama, dan dengan kisah bertabur hikmah di depan kalangan awam. Ia akan bicara dengan bahasa keislaman tatkala bertatap muka dengan kelompok muslimin, dan dengan bahasa logika dan falsafah di depan non-muslim. Tak ada satu pihak yang sakit hati tatkala mendengar tutur katanya. Bilamana ia berbicara, seluruh pandangan mata tertuju pada ucapannya. Bahkan tak sedikit yang mencucurkan air mata.
Sebahagian besar orasi yang meluncur dari lisannya direkam dan disalin. Maka, terlahirlah sekian bahan pustaka tulis serta elektronik, yang menjadi khazanah pustaka di rumah-rumah kaum muslimin, khususnya pecintanya. Selain itu, ia pun menggagas dakwah bil qalam (dengan pena), lewat berbagai karya, yang sebahagian besar hadir dari sebuah mujahadah di jalan dakwah.
Cahaya Ilmu dalam Keluarga
Habib Umar lahir di Tarim, sebelum fajar hari Senin, 4 Muharram 1383 H/27 Mei 1963 M. Ia tumbuh di tengah keluarga yang shalih dan penuh cahaya ilmu. Ayahnya, Habib Muhammad bin Salim, adalah seorang ulama terpandang yang mencapai tingkat mufti dalam Madzhab Syafi’i. Kakeknya, Habib Salim bin Hafidz, seorang ulama yang produktif menulis. Sedangkan kakaknya, Habib Ali Masyhur, adalah seorang ulama faqih yang sampai saat ini menjadi mufti kota Tarim.
Cinta terhadap ilmu dan orang-orang shalih telah tertanam dalam jiwa Habib Umar sejak ia masih berusia dini. Sejak kecil ia sudah menghafal Al-Quran dan mempelajari ilmu-ilmu dasar agama.
Saat ia menginjak usia sembilan tahun, ayahnya, karena ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran, diculik oleh kelompok komunis yang saat itu berkuasa di kawasan Yaman Selatan. Hingga kini tak diketahui keadaan ayahnya, namun sikap heroisme sang ayah menjadi api perjuangan yang tertanam dalam jiwa Habib Umar untuk menjalani dakwah ke seluruh dunia.
Dalam suasana yang penuh kegentingan dan intimidasi, Habib Umar muda tetap menuruti keinginan kuat di hatinya untuk menuntut ilmu kepada para ulama. Selain belajar kepada ayahnya dan kakaknya, ia juga belajar kepada Habib Muhammad bin Alwi Bin Shahab, Al-Munshib Habib Ahmad bin Ali Bin Syekh Abubakar, Habib Abdullah bin Syaikh Alaydrus, Habib Abdullah bin Hasan Bilfagih, Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, Sulthan Al-‘Ilm Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri (Rubat Tarim), Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan Syaikh Taufiq Aman.
Berkat wasilah mereka, Habib Umar memperoleh berbagai pengetahuan dan disiplin ilmu, seperti ilmu fiqih, theologi, ushul fiqh, sejarah, tata bahasa, dan tasawuf. Sejak usia 15 tahun, ia terbiasa untuk menyampaikan ilmu dari guru-gurunya dalam rangka dakwah.
Hijrah dan Dakwah
Situasi politik di Yaman Selatan, yang dikuasai komunis, membuat Habib Umar berhijrah ke Yaman Utara. Ia berhijrah dari Tarim pada bulan Shafar 1402 H/Desember 1981 M ke kota Baidha. Di kota ini, ia memilih untuk melanjutkan studinya ke Rubath Al-Haddar, yang didirikan Al-‘Arif billah Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar. Di sini, selain belajar kepada Habib Muhammad, ia juga belajar kepada ‘Allamah Habib Zain bin Ibrahim Bin Sumaith. Di samping itu, ia juga belajar ke Hudaidah dan Taiz. Ia belajar kepada mufti kota Taiz, ‘Allamah Al-Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil Bin Yahya.
Ia menjadi pemuda yang dikenal kealimannya, lurus, shalih, gemar berdakwah, dan berakhlaq mulia. Gurunya, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar, pengasuh Rubath Al-Haddar, menjadikannya sebagai menantu, menikahkannya dengan salah seorang putrinya.
Kehausan Habib Umar akan ilmu, dan kecintaannya kepada orang-orang alim nan shalih, semakin menjadi-jadi. Pada Rajab 1402 H/April 1982 M, ia sering bolak-balik antara Arab Saudi dan Yaman. Di kedua negara itu ia belajar kepada Al-‘Arif billah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, Habib Abubakar Aththas bin Abdullah Al-Habsyi, dan mengambil ijazah sanad kepada Musnid Ad-Dunya (Pemilik Banyak Sanad di Seluruh Dunia) Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani Al-Indunisi dan ‘Allamah As-Sayyid Prof. Dr. Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani.
Dakwah Habib Umar lalu merambah Oman, tatkala ia menetap dan mengajar di kota Shalalah selama kurang lebih dua tahun atas permintaan sejumlah tokoh masyarakat di Kesultanan Oman.
Pada tahun 1992 M, Habib Umar pindah ke kota Syihr, Hadhramaut. Di kota ini, ia menghidupkan kembali Rubath Al-Musthafa, yang didirikan Al-Habib Abdurrahman Bin Syekh Abubakar bin Salim. Rubath ini sebelumnya ditutup oleh pemerintah komunis.
Dengan dihidupkannya kembali Rubath ini, kiprah Habib Umar semakin kentara. Para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai negeri, termasuk dari Indonesia.
Setelah sekian lama merantau ke berbagai negeri untuk belajar, mengajar, dan berdakwah, Habib Umar kembali ke kampung halamannya, Tarim. Di tanah kelahirannya, pada tahun 1414 H/1994 M, Habib Umar membangun perguruan yang dinamakan “Darul Mushthafa li Ad-Dirasah Al-Islamiyyah”.
Lembaga perguruan ini secara resmi baru digunakan pada hari Selasa, 29 Dzulhijjah 1417 H/6 Mei 1997 M. Dengan resmi berdirinya perguruan Islam ini, Tarim dan Darul Mushthafa menjadi magnet bagi ribuan pelajar muslim di seluruh dunia.
Ada tiga target utama yang menjadi tujuan didirikannya lembaga pendidikan ini. Pertama, mendapatkan ilmu pengetahuan dari para ahlinya dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Kedua, pembersihan jiwa dan menata akhlaq. Ketiga, menyebarkan ilmu yang diperoleh serta menyeru umat manusia ke jalan Allah.
Sekalipun konsep perguruan ini menggunakan metode salaf, nuansa modernitas juga mulai tampak, terutama dalam menggunakan perangkat-perangkat infrastruktur yang canggih.
Aktivitas pendidikan tak menyurutkan semangat Habib Umar untuk melakukan rihlah dakwah ke berbagai penjuru dunia.
Salaf di Era Khalaf
Di tengah kesibukan mendidik dan berdakwah, Habib Umar menyempatkan dirinya untuk menulis beberapa kitab, di antaranya Is’af Thalib Ridha al-Khallaq bi Makarim al-Akhlaq, Tawjihah ath-Thullab, Al-Khithab al-Islamiyy fi al-Mu-assasat ad-Diniyyah, Syarh Manzhumah as-Sanad al-‘Alawiyy, Khuluquna, Adz-Dzakhirah al-Musyarrafah, Khulashah Madad an-Nabawi, Risalah Maulid Adh-Dhiya al-Lami’, Syarab ath-Thahur fi Dzikr Sirah Badr al-Budur, Faydh al-Imdad fi Khuthab al-Jum’ah wa al-Kusufayn wa al-Istisqa wa al-A’yad, Al-Mukhtar min Syifa` as-Saqim, Tawjihat Nabawiyyah, Nur al-Iman min Kalam Habib ar-Rahman, Al-Wasathiyyah fi al-Islam, Mamlakatul Qalbi wa al-A’dha`, Tawjih an-Nabiyy, Qabasat an-Nur al-Mubin min Ihya Ulum ad- Din, Tsaqafah al-Khathib, Silsilah Ma’alim ad-Du’at fi Thariq Habibillah, serta diwan (kumpulan prosa) yang teruntai dari lisan perenungannya yang berjudul Fa-idhat al-Mann min Rahamat Wahhab al-Mannan.
Salah satu karyanya, Al-Wasathiyah fi al-Islam, memuat akar-akar dan landasan dasar dari semua pemikiran Habib Umar yang tertuang dari puluhan karyanya. Ia sangat pandai membangun paradigma berpikir dengan mengambil khulashah (intisari) dari nash-nash agama yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh ulama lain. Ia juga melakukan analisis yang tajam dalam mencermati kisah-kisah sejarah. Ia mengail hikmah yang sangat dalam dan logis dari cerita-cerita, bahkan mampu menjadikannya sebagai landasan bagi masalah yang diajukan oleh akal sehat.
Sejarah menjadi salah satu sumber inspirasi bagi Habib Umar untuk menulis. Sisi inilah yang membuat gaya berpikir Habib Umar memiliki ciri khas, yang dilontarkan oleh para ulama dalam beberapa dekade belakangan ini.
Karya lainnya seperti Tsaqafatul Khathib, Al-Khithab al-Islamiy, dan Faydh al-Imdad, sebagaimana tampak dari judulnya, merupakan karya di bidang ilmu dakwah. Karya-karya ini berdasarkan pengalamannya sebagai dai yang telah lama dijalaninya sejak masa remaja.
Selebihnya merupakan karya-karya yang lazim ditulis ulama-ulama Hadhrami, seperti karya-karya Al-Imam Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, yang berkenaan dengan adab, suluk, dan jalan kesufian.
Adapun risalah Maulid Adh-Dhiya‘ al-Lami’ menunjukkan ketinggian nilai sastra Habib Umar. Melantunkan bacaan karya Maulid-nya ini termasuk mudah, sehingga banyak disukai anak-anak remaja. Karya Maulid ini juga menjadi familiar, berkat jaringan murid-murid Habib Umar di berbagai penjuru dunia yang mempopulerkannya.
Kini, dalam usia yang baru mendekati 49
tahun, Habib Umar Bin Hafidz telah muncul menjadi sosok ulama muda yang
produktif menulis. Semua ini dilakoninya di tengah kesibukan meretas
jalan-jalan dakwah ke berbagai belahan dunia dan lapisan masyarakat
serta mengayomi perguruan Darul Mushthafa. Mudah-mudahan akan lahir
juga karya-karya terbarunya, utamanya di bidang-bidang keislaman
lainnya, seperti tafsir, hadits, dan fiqih. Amin.
AB*AP